Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang menjadi pusat kegiatan pendidikan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi anak. Walau fungsi utamanya menyampaikan ilmu pengetahuan, tetapi sekolah juga memiliki peran dalam pembentukan karakter peserta didik. Dalam prosesnya, sekolah menetapkan tata tertib siswa yang diharapkan mampu membentuk siswa yang disiplin, taat aturan, serta menjunjung tinggi akhlak mulia. Sebagai seorang siswa yang telah melewati masa orientasi sekolah, sudah seharusnya bersedia untuk menaati peraturan yang berlaku di lembaga sekolahnya. Namun terlepas dari hal tersebut, di zaman milenial pandangan siswa terhadap aturan sekolah telah berubah. Penyebabnya adalah efek boomerang dari siswa ke pihak sekolah, pada awalnya terpantau siswa membangkang yang membuat masalah, menanggapi kasus itu sekolah memperketat peraturan untuk menekan perilaku negatif dari siswa, pada akhirnya siswa mendapat tekanan dan merasa peraturan yang ditetapkan terlalu berlebihan. Banyak siswa yang datang ke sekolah, menaati peraturan hanya sekedar untuk menghindari ruang BK atau amarah dari guru serta orang tua mereka sehingga lupa apa makna dan tujuan sebenarnya dari penegakan disiplin tata tertib itu. Menurut Wiratomo dalam Rifa’i
(2016: 141) Tata tertib sekolah dibuat dengan tujuan sebagai berikut:
Dari definisi yang mencerminkan tujuan positif dibentuknya peraturan sekolah diatas, terdapat pro dan kontra bagaimana jika peraturan sekolah itu diperketat dengan alasan untuk menekan kasus kenakalan siswa? Sebagian siswa yang berada dipihak pro berpendapat seperti ini: ya mungkin bisa diterapkan karena tujuannya membantu menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi siswa, membantu mengontrol perilaku siswa di sekolah dan mengurangi tingkat pelanggaran, membantu siswa belajar mematuhi aturan dan disiplin, keterampilan yang sangat dibutuhkan di masa depan, membantu meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan membuat suasana yang lebih tenang dan terkendali di kelas. Namun tak jarang pula siswa yang dipihak kontra mengeluarkan argumennya: Memangnya peraturan seperti ini dibuat untuk apa? Tidak mengganggu pelajaran kan? Malah dampaknya bisa Beberapa siswa mungkin merasa terkekang oleh aturan-aturan yang ketat, beberapa tata tertib mungkin terasa tidak adil atau tidak rasional bagi beberapa siswa, terlalu banyak peraturan yang ketat mungkin mempersempit kreativitas siswa dan menurunkan motivasi untuk belajar.
Benarkah demikian?
Banyak pihak yang mengira bahwa semakin ketat peraturan, maka semakin tertib pula pelaksananya. Memang benar demikian, namun dampak yang ditimbulkan tidak membuat peraturan ketat itu berguna bagi pembentukan karakter. Siswa menaati tata tertib hanya di lingkungan dimana peraturan itu berlaku, di luar dari lingkungan itu mereka akan mengeluarkan sikap asli mereka yang masih berada di umur akil balik. Contoh umum yang sering ditemui adalah siswa nakal yang kerap melanggar aturan berpakaian, sering terlambat ke sekolah, suka bermasalah dengan siswa lainnya. Tapi jarang sekali siswa yang terlihat baik dan lugu di sekolah, ketika pulang sekolah ia nongkrong di cafe, merokok, menonton film porno, mabukmabukan, melakukan tindak kriminal seperti mencuri atau balap-balapan belum ketahuan benarnya. Bahkan siswa dengan predikat terbaik di sekolah, belum tentu memiliki karakter asli yang baik. Mungkin saja perilaku negatifnya tertutupi oleh ketaatan pada peraturan sekolah yang dibuat pura-pura hanya untuk membangun citra didepan warga sekolah.
Pada intinya, tujuan diperketatnya aturan itu tidak ada guna nya jikalau karakter siswa tidak turut dibentuk dengan baik. Secara logika, orang dengan moral baik akan selalu berbuat baik dimanapun ia berada walaupun di lingkungan itu tidak ada peraturan yang mengikat. Artinya akhlak mulia memang tertanam dalam dirinya, bukan sekedar ikut menaati demi terhindar dari sanksi. Maka demikian, pihak sekolah diharapkan bukan hanya memperbesar skala sanksi dari peraturan namun lebih mengedepankan program yang dapat memupuk pendidikan karakter pada siswa. Ketika program itu berhasil, siswa perlahan terbiasa dengan budaya sekolah bahkan bisa dibawa sampai ke lingkungan masyarakat. Pandangan ini didasari oleh Kurikulum merdeka resmi diluncurkan pada Februari 2022 oleh Mendikbud Nadiem Makarim. Kurikulum yang didasari oleh pemikiran filosofis Ki Hajar Dewantara tersebut memberikan pandangan bahwa mendidik adalah menuntun segala kodrat yang ada dalam diri anak sehingga mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Sehingga dalam konsep tersebut pembelajaran harus dibebaskan dari segala ancaman, hukuman, perundungan yang membuat anak merasa takut dalam proses belajarnya. Menurut William Glasser (seorang ahli psikiater Amerika) ketika seorang siswa menunjukkan perilaku tidak pantas, tugas seorang guru adalah membantu mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan dengan cara yang bisa diterima. Berangkat dari hal tersebut, proses menyusun strategi pembentukan karakter sebaiknya dilakukan ketika siswa baru menginjakkan kaki di sekolah baru. Siswa baru ketika mengikuti kegiatan pengenalan lingkungan sekolah diberikan pemahaman tentang budaya sekolah yang menanamkan nilai-nilai etika berperilaku. Hari hari berikutnya secara konsisten penanaman karakter baik ini terus dilakukan agar menjadi sebuah kebiasaan. Pada akhirnya pendidikan karakter telah tertanam utuh dalam diri siswa, dan akan dibawa terus sehingga bermanfaat bagi masa depannya. Kepada siswa yang tetap memilih untuk membangkang memang seharusnya diberikan sanksi agar mendapatkan efek jera, namun sanksi yang diberikan hendaknya berkenaan dengan perbaikan moralnya bukan fisiknya.
Di satu sisi, organisasi siswa intra sekolah yang ditugaskan untuk menegakkan peraturan dan ketertiban tidak bisa sepenuhnya dijadikan tameng dalam menangani siswa yang bermasalah. Mengapa? Karena kerap terjadi reaksi pemberontakan dari siswa ketika mendapat tindakan dari teman sebayanya yang sedang bertugas. Siswa yang memang karakternya brandal tidak akan mengerti bahwa petugas keamanan siswa sedang menerapkan peraturan sekolah, bukan membuat-buat argumen agar terlihat galak. Tidak sedikit siswa yang sibuk mencari perhatian dengan cara membuat onar di sekolah, mereka menganggap tindakan itu adalah hal yang keren. Hal ini menandakan psikologi seseorang sedang terganggu, otaknya tidak mampu berfikir rasional di umur yang sudah menginjak dewasa. Argumen yang menormalisasi kenakalan remaja dengan alibi masa remaja adalah masa dimana anak muda sulit mengatur emosi, tapi kalau tidak dari sekarang dibina dengan baik kapan lagi siswa langganan BK tersebut belajar mengontrol diri?. Organisasi siswa yang bergerak dibidang keamanan dan keteriban hanya menjalankan tugas sesuai arahan guru pembina dan berdasarkan peraturan yang berlaku, Sehingga tindakan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan. Disinilah pentingnya peran guru untuk ikut serta membangun karakter siswa yang baik. Banyak peranan yang diperlukan dari guru sebagai pendidik, atau siapa saja yang telah menerjunkan diri menjadi guru. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa peraturan ketat dengan sanksi keras bukan cara yang tepat untuk mendidik seorang anak. Melainkan strategi yang paling tepat untuk melahirkan generasi berkarakter adalah membentuk moral dan akhlaknya secara bertahap. Dasar perbaikan diri berasal dari kesadaran diri masing-masing, maka dari itu bagaimana langkah yang dapat diambil pihak sekolah guna membangun kesadaran siswa akan posisinya sebagai harapan bangsa.
Karya: Kamtib SMA Negeri 1 Singaraja Periode 2022/2023 a.k.a Danadyaksa Abinawa